Idh@’s Love

Idul Fitri….Kembali Fitrah…. September 27, 2008

Filed under: Renungan — ida @ 2:02 am

”Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, laa ilaa ha illallahu wa Allahu Akbar…
Allahu Akbar wa lillahilham…”

p

Tak terasa gema takbir itu akan kembali menghiasi alam ini, gema takbir lebaran yang penuh dengan kemenangan. Suatu pesta kemenangan umat Islam yang selama bulan Ramadhan telah berhasil melawan berbagai hawa nafsu. Idul Fitri yang berarti kembali kepada kesucian, yaitu hari menuju fitrah, dimana tali silaturahmi sangat mewarnai hari penuh makna ini. Di dalam perjalanan hidup, manusia senantiasa tidak bisa luput dari dosa dan kesalahan terhadap sesama yang kadang menimbulkan rasa saling menyakiti. Semoga Idul Fitri merupakan momentum terbaik bagi setiap manusia untuk saling memaafkan dan kembali ke fitrahnya sebagai makhluk yang suci dan terampuni segala dosanya. Namun saling memaafkan kepada orang lain seharusnya tidak semata-mata dilakukan saat Lebaran, tetapi harus berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari.

p

Untuk semua teman, sahabat, saudara, kedua orang tuaku, mertua dan suamiku jika ada salah khilafku yang pernah tersakiti semoga momen ini merupakan hari terbaik untuk memohon maaf dan ampunan yang sebesar-besarnya. Semoga segala kesederhanaan dan ketulusan iman menjadi makna utama hari kemenangan kita.

p

Ya Allah….
Berkahilah kami pada hari yang penuh kemuliaan ini
Ampunilah segala dosa-dosa dan kelalaian kami
Jadikanlah ini hari terbaik yang melewati kami
Jadikan bulan ini kami orang yang paling bahagia
Amin Ya Robal alamin…

p

SELAMAT IDUL FITRI 1 Syawal 1429 H
MINAL AIDIN WAL FAIDZIN
MOHON MAAF LAHIR & BATIN

 

15 Hari Telah Berlalu… September 15, 2008

Filed under: Renungan — ida @ 1:51 am

Tak terasa hari ini kita sudah memasuki hari ke-15 bulan Ramadhan dan pastinya tinggal setengah perjalanan lagi Ramadhan yang indah dan yang penuh dengan pengampunan ini akan meninggalkan kita. Ada rasa senang, bahagia, gembira, cemas, bahkan sedih. Apakah ibadah Ramadhan ini telah kita lakukan dengan optimal dan sepenuh hati? Apakah kita masih diberikan umur untuk bertemu dengan bulan Ramadhan tahun depan? Marilah kita bersama2 mengevaluasi diri kita sendiri dan semoga kita menjadi pribadi yang lebih baik di pertengahan Ramadhan ini. Semoga Allah memberikan kekuatan dan kesabaran untuk meningkatkan amal ibadah kita serta memanjangkan umur dan mempertemukan kita dengan Ramadhan tahun depan. Amin…

P

Marilah kita mempersiapkan ketulusan hati kita untuk memohon maaf dan memberikan maaf agar diri kita kembali FITRI.

P
MOHON MAAF LAHIR & BATHIN….

 

Tidak ada Salahnya Menangis August 21, 2008

Filed under: Renungan — ida @ 3:59 am

Menangis…??? Tidak ada salahnya kita menangis kalau memang dengan menangis itu kita sebagai manusia menjadi sadar, sadar akan kelemahan-kelemahan diri kita, sadar akan kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan dan saat tidak ada lagi yang sanggup menolong dari kejatuhan selain Allah Swt. Kesadaran yang membawa manfaat dunia dan akhirat. Bukankah keadaan hati kita sebagai manusia tidak pernah stabil? Selalu berbolak balik menuruti keadaan yang dihadapinya. Ketika seseorang menghadapi kebahagiaan maka hatinya akan gembira, namun saat dilanda musibah tidak sedikit orang yang berputus asa bahkan kadang berpaling dari kebenaran.

p

Bagi seorang muslim yang mukmin, menangis merupakan buah kelembutan hati dan petanda kepekaan jiwanya terhadap berbagai peristiwa yang menimpa dirinya. Rasulullah Saw pun menitiskan air matanya ketika kematian anaknya, Ibrahim.
Bukankah di antara tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan pada hari dimana tiada naungan kecuali naungan Allah adalah orang yang berdoa kepada Rabbnya dalam bersendirian kemudian dia menitiskan air mata? Seorang mukmin sejati akan menangis dalam bersendirian di kala berdoa kepada Tuhannya. Sadar betapa berat tugas hidup yang harus dipikulnya di dunia ini.
p
Menangis merupakan sebuah bentuk pengakuan terhadap kebenaran.

Semoga hal demikian dapat melembutkan hati dan menjadi penyejuk serta penyubur iman dalam dada. Semoga kita juga selalu diingatkan pada hari ketika manusia banyak menangis dan sedikit tertawa kerana dosa-dosa yang diperbuatnya selama di dunia.

p
Jadi apa salahnya kita menangis?
p
“Air mata yang telah jatuh
Membasahi bumi
Takkan sanggup menghapus penyesalanPenyesalan yang kini ada
Jadi tak berarti
Karena waktu yang bengis terus pergiMenangislah….
Bila harus menangis
Karena kita semua manusiaManusia bisa terluka
Manusia pasti menangis
Dan manusia pun bisa mengambil hikmahDibalik segala duka
Tersimpan hikmah
Yang bisa kita petik pelajaran

Dibalik segala suka
Tersimpan hikmah
Yang kan mungkin bisa jadi cobaan”

p
(Lirik lagu ”Air Mata”, Dewa)

p

Sebagian sumber diambil dari sini

 

Merdeka… August 15, 2008

Filed under: Renungan — ida @ 2:43 am

p

”HIDUPLAH INDONESIA RAYA…”

p

Tak terasa 2 hari lagi kita akan memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-63 tahun. Semoga arti kemerdekaan ini dapat kita jadikan sebagai bahan renungan dan introspeksi diri. Apakah Indonesia sudah merdeka?? Apakah kita sudah merasakan kemerdekaan yang sebenarnya?? Jawabannya berpulang kepada diri kita masing-masing. Hati kecil kita pasti bisa menjawab. Seseorang mungkin telah merasakan dan menikmati arti kemerdekaan yang sebenarnya, namun mungkin juga ada orang hanya menikmati kemerdekaan semu yang tanpa mengetahui apakah nanti hidupnya akan merasakan hari-hari merdeka itu tanpa penderitaan lagi?? Banyak disekitar kita yang berjuang melawan kerasnya hidup demi mendapatkan sesuap nasi serta untuk menghidupi keluarganya, sedangkan disisi lain korupsi semakin bertumbuh kembang.
Memang bangsa kita sudah merdeka dan bebas dari penjajahan. Namun apakah penjajahan ekonomi Indonesia juga sudah merdeka ???

p

SEMOGA BANGSA KITA INI DAPAT SEGERA BANGKIT DARI KETERPURUKAN…

p

(Gambar diambil dari sini)

 

GEMA June 18, 2008

Filed under: Renungan — ida @ 2:39 am

Seorang anak kecil dan ayahnya sedang berjalan di sebuah gunung. Tiba-tiba anak itu tergelincir dan menjerit, ”Aaaaahhh!!!” Betapa kagetnya ia ketika mendengar ada suara dari balik gunung, ”Aaaaahhh!!!”.

Dengan penuh rasa ingin tahu, ia berteriak, ”Hai siapa kau?” Ia mendengar lagi suara dari balik gunung, ”Hai siapa kau?”

Ia merasa dipermainkan dan dengan marah berteriak lagi, ”Kau pengecut…!!” Sekali lagi dari balik gunung terdengar suara, ”Kau pengecut…!!”

Ia lalu menengok ke ayahnya da bertanya ”Ayah, sebenarnya apa yang terjadi?”

Ayahnya tersenyum dan berkata, ”Anakku, mari perhatikan ini.”

Kemudian ia berteriak sekuat tenaga pada gunung,

”Aku mengagumimu..!!”

Dan suara itu menjawab,

”Aku mengagumimu..!!”

Sekali lagi ayahnya berteriak,

”Kau adalah sang juara…!!”

Suara itu pun menjawab lagi

”Kau adalah sang juara…!!”

Anak itu merasa terheran-heran, tapi masih juga belum memahami. Kemudian ayahnya menjelaskan :

”Nak, orang-orang menyebutnya GEMA, tetapi sesungguhnya inilah yang dimaksud dengan hidup itu. Ia akan mengembalikan padamu apa saja yang kamu lakukan dan katakan. Hidup kita ini hanyalah refleksi dari tindakan kita. Bila kau ingin mendapatkan lebih banyak cinta kasih di dunia ini, maka berikanlah cinta kasih dari hatimu. Bila kau ingin mendapatkan kebaikan dari orang lain, maka berikanlah kebaikan dari dirimu. Hal ini berlaku pada apa saja dan pada semua aspek dalam hidup. Hidup akan memberikan apa yang telah kamu berikan padanya. Maka, sebenarnya hidup ini bukan suatu kebetulan. Hidup adalah pantulan dari dirimu, gema dirimu”

(dikutip dari majalah Paras, 07/05)

 

Rautan Kayu November 17, 2007

Filed under: Renungan — ida @ 5:10 am

”Jika anak hidup dalam kecaman, ia belajar mengutuk
Jika anak hidup dalam kekerasan, ia belajar berkelahi
Jika anak hidup dalam pembodohan, ia belajar jadi rendah diri
Jika anak hidup dalam rasa dipermalukan, ia belajar terus merasa bersalah
Jika anak hidup dalam toleransi, ia belajar menghormati
Jika anak hidup dalam dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak hidup dalam penghargaan, ia belajar mengapresiasi
Jika anak hidup dalam rasa adil, ia belajar keadilan
Jika anak hidup dalam rasa aman, ia belajar yakin
Jika anak hidup dalam persetujuan, ia belajar menghargai diri sendiri
Jika anak hidup dalam rasa diterima dan persahabatan,
ia belajar mencari cinta di seluruh dunia”

 

Suatu ketika, ada seorang kakek yang harus tinggal dengan anaknya. Selain itu, tinggal pula menantu dan anak mereka yang berusia 6 tahun. Tangan orangtua ini begitu rapuh, dan sering bergerak tak menentu. Penglihatannya buram, dan cara berjalannya pun ringkih.

Keluarga itu biasa makan bersama di ruang makan. Namun, sang orangtua yang pikun ini sering mengacaukan segalanya. Tangannya yang bergetar dan matanya yang rabun, membuatnya susah untuk menyantap makanan. Sendok dan garpu kerap jatuh ke bawah.
Saat si kakek meraih gelas, segera saja susu itu tumpah membasahi taplak. Anak dan menantunya pun menjadi gusar. Mereka merasa direpotkan dengan semua ini. ”Kita harus lakukan sesuatu,” ujar sang suami. ”Aku sudah bosan membereskan semuanya untuk Pak Tua ini.”
Lalu, suami-istri ini pun membuatkan sebuah meja kecil di sudut ruangan. Di sana, sang kakek akan duduk untuk makan sendirian, saat semuanya menyantap makanan. Karena sering memecahkan piring, keduanya juga memberikan mangkuk kayu untuk si kakek.
Sering saat keluarga itu sibuk dengan makan malam mereka, terdengar isak sedih dari sudut ruangan. Ada air mata yang tampak mengalir dari gurat keriput si kakek. Meski tak ada gugatan darinya. Tiap kali nasi yang dia suap, selalu ditetesi air mata yang jatuh dari sisi pipinya. Namun, kata yang keluar dari suami-istri ini selalu omelan agar ia tak menjatuhkan makanan lagi.
Anak mereka yang berusia 6 tahun memandangi semua dalam diam. Suatu malam, sebelum tidur, sang ayah memperhatikan anaknya yang sedang memainkan mainan kayu. Dengan lembut ditanyalah anak itu. ”Kamu sedang membuat apa?” Anaknya menjawab, ”Aku sedang membuat meja kayu buat ayah dan ibu, untuk makan saatku besar nanti. Nanti, akan kuletakkan di sudut itu, dekat kakek biasa makan.” Anak itu tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya.
Jawaban itu membuat kedua orangtuanya begitu sedih dan terpukul. Mereka tak mampu berkata-kata lagi. Lalu, airmata pun mulai bergulir dari kedua pipi mereka. Walau tak ada kata-kata yang terucap, kedua orangtua ini mengerti, ada sesuatu yang harus diperbaiki.
Mereka makan bersama di meja makan. Tak ada lagi omelan yang keluar saat ada piring yang jatuh, makanan yang tumpah atau taplak yang ternoda. Kini, mereka bisa makan bersama lagi di meja utama. Dan anak itu, tak lagi meraut untuk membuat meja kayu.
(Dikutip dari majalah Paras, edisi Maret 2005)

Renungan

Anak-anak adalah persepsi dari kita. Mata mereka akan selalu mengamati, telinga mereka akan selalu menyimak, dan pikiran mereka akan selalu mencerna setiap hal yang kita lakukan. Mereka adalah peniru. Jika mereka melihat kita memperlakukan orang lain dengan sopan, hal itu pula yang akan dilakukan oleh mereka saat dewasa kelak. Semoga aku pribadi mampu memberikan ”bekal & tabungan terbaik” untuk anak-anak kami kelak….Amin.